Rabu, 30 April 2014

Jarahan




Wahai pujangga, 

Malammu kah yang merekah itu?

Selir dan waktu merenggutnya terlalu banyak

Tersisa apa untuk sekerling senyummu?

Begitu jauhkah engkau terpendam masa

Bahkan tertawa pun engkau lupa.

Wahai pujangga,

Setegar apa air mukamu bersembunyi di balik tabir,

Mendamba damai untuk rembulanmu

Tapi kau sendiri memiaskan hari,

Terlalu kuatkah engkau sebagai karang

Apa mungkin engkau begitu malu

Melerai pertikaian sang waktu.

Betul juga,

kau adalah cinta yang tak bertuan

membenamkan dirimu sebagai pujangga

dan muncul di pertempuran ini

tak sebilah pedangpun menghunusmu.

Wahai pujangga,

Sedikit sekali nafas untuk nadirmu

Seperti apa engkau akan menggapai dahannya?

Oleh : GreenMIND


Jumat, 25 April 2014

Rasian Ranah




Aku sedang tak ingin menemani bintang

Karena di waktu ini tanpa makna,

Kau mungkin tak sedang mengerti

Pertikaian malam,

Pun tak kuminta kau mengerti.

Cukuplah sejangkauan hati saja,

Semuanya ingin mengandungkanmu,

Lalu selangkah aku dibalik tabir

Memang tak mudah menakluk malam,

Kesalahan akannya

Tak tertulis pada angin laut

Tapi menambatmu dengan gelombang.

Saat ini, senyum untuk alam

Tenang kugapai

Tak selamanya akan begini,

Tapi deruku tak boleh jatuh lagi
Oleh : GreenMIND


Tarian Malam



 Aku hanya ingin menemani malam,

Tak tersuguh keberanianku menjemputnya

Memandangnya sejengkal mata

Aku hidup…

Dimana aliran itu bernaung,

Jawabnya ada padaMu Tuhan,

Ada angina pa menyapaku

Dengan ini…

Berterimakah irama nyanyian

Dalam senja menjelang malam ini?

Berharap pun aku takut,

Meski sejenak waktu

Terkadang dia adalah bebintangan

Tapi begitu jauh dari jamuanku

Di waktu ini,

Kita mungkin boleh memandang,

Tapi apa mungkin ada bersama?

Karena awan tak mengandung rinai hari ini…

Oleh : GreenMIND

Sabtu, 12 April 2014

A MEMORY




SAHABAT OH SAHABAT
          Matahari keluar dari persembunyiannya, semerbak aroma pagi meremuk tubuhku yang dingin. Pagi-pagi sekali kulangkahkan kaki menuju tempat kuliah yang jarak cukup jauh dari kediaman sementaraku. Sepanjang trotoar kakiku menghentak debu-debu yang bergelut dengan raungan ratusan kendaraan memadati jalan-jalan kota. Rinai tak mungkin hadir pagi ini, karena matahari jauh lebih terang darinya. Tapi, hatiku tetap berharap bahwa rinai itu berkenan turun sebentar. “Kenapa harus begitu yah?”, tanyaku sendiri dalam kepala.
            Aku mencoba menjawab sendiri pertanyaan yang menurutku konyol ini. Sambil kakiku terus melangkah,dan  bibirku menggumam-gumam kecil. Akhirnya langkah ini terhenti juga, dan si roda empat segera menyambut nafasku yang terengah segera membawaku menuju tempatku menuntut ilmu sekarang.
            Ya, memikirkan tempat kuliahku sama artinya memancing diri untuk tertarik ke dalam suasana kaku dan membosankan. Aku tak tau apa yang salah dari semua ini, keadaan kah? Waktukah? Atau aku sendiri? Belum habis pertanyaanku ini, pertanyaan yang tadi kembali mencuat dipikiranku. Mengapa aku harus mengharapkan rinai untuk sejenak turun dari singgasananya? Untuk menjawabnya kucoba menghitung mundur waktu dari tempatku sekarang berpijak sampai kepada memoar setahun yang lalu ketika aku di madrasah. Oh, ternyata aku sedang rindu.
            Dalam khayalku berkata “Inikah duniamu sekarang yang membalikkan badanmu sangat jauh dari genggaman tanah kelahiranmu sendiri, melemparkan pkiranmu jauh dari suasana berkawan?”.  Sahabat oh sahabat, mengapa tak lagi berkawan denganku, tak lagi berbagi cerita denganku? Lupakah engkau, atau aku yang terlalu jauh? Atau begitu sibukkah kita?
            Aku mengaharapkan rinai, agar ia menutupi sejenak rinduku, tapi aku begitu naïf. Berharap seolah-olah waktu sedang berjalan mundur, dan untuk sejenak berkenan menghadirkan kita kembali duduk di dalam ruang kelas, bersama kursi-kursi kayu, papan tulis hitam dan putih, rumput hijau madrasah kita serta baju putih abu-abu yang lekat di badan.  Tak lupa pula suasana ribut di dalam kelas, suasana gaduh saling mengejek, suara lantang ibu dan bapak guru. Saling tegur sapa di jam istirahat yang masih sering kita sebut ‘keluar main’. Antrian yang begitu ramai diseluruh kantin di madrasah, dan pastinya yang paling laris kantin  ‘Mama Daya’, hahaha. Aku tertawa kecil dengan khayalanku itu, tanpa kusadari sudah lama rupanya air ini keluar dari mataku begitu saja. Betapa kegilaan dan kekompakan kita semua takkan bisa tergerus oleh suasana baru sekalipun. Kurindukan becandaan kita kawan, kurindukan kejengkelan kita dengan kepala madrasah dan bapak ibu guru yang sering member tugas kelewatan. Kurindukan suasana upacara yang khidmat. Kurindukan keseriusan kita serta keletihan demi keletihan yang muncul bertubi-tubi pada saat kita akan menghadapi ujian nasional 2013. Aku tak percaya, begitu cepat waktu mengubah semuanya kawan.
Oleh : GreenMIND

Jumat, 04 April 2014





Bait Kecil

Aku hidup dalam pena, aku hidup dalam tinta.

Aku berkawan dengan kertas putih darimu,

Aku terangkai dalam bait-baitmu.

Aku adalah puisi yang kau cipta.

Aku adalah nada yang kau petik,

Aku terlahir dalam harmoni fikirmu.

Semua tentang dia, kau beri tahu padaku dalam kata yang bisu.

Semua kisah yang membawa pergi air matamu

Kau tumpahkan pula melalui aku.

Aku berkawan dengan goresan-goresanmu,

Lembut, diam dan begitu indah.

Aku juga berkawan dengan jemari itu

Yang menari kecil denganku diatas kertas putih,

Sekedar untuk menciptakannya dalam sekejap fikirmu.
Ah, kawan.

Kita ternyata begitu dekat, tapi tak ada yang sadari itu

Bahkan mungkin engkau.

Tapi, aku adalah gambaran dirimu.

Oleh : GreenMIND